Kamis, 07 Januari 2016

PERAWATAN KLIEN JIWA DI RUMAH DAN REKONSTRUKSI TINDAKAN PEMASUNGAN



PERAWATAN KLIEN JIWA DI RUMAH DAN REKONSTRUKSI TINDAKAN PEMASUNGAN

A.      Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah selesai mempelajari materi pembelajaran yang diuraikan pada kegiatan belajar-5 ini, Anda  diharapkan akan mampu memahami perawatan klien jiwa di rumah.

B.       Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah selesai mempelajari materi pembelajaran ini, Anda  diharapkan akan dapat :
1.         Menjelaskan pengertian gangguan jiwa
2.         Menjelaskan penyebab gangguan jiwa
3.         Menjelaskan macam –macam gangguan jiwa
4.         Menjelaskan pencegahan kekambuhan gangguan jiwa
5.         Menjelaskan perawatan gangguan jiwa di rumah
6.         Menjelaskan rekonstruksi tindakan pemasungan

C.      Pokok – Pokok Materi
Adapun pokok-pokok materi yang akan Anda pelajari pada kegiatan belajar-5 ini adalah:
1.         Pengertian gangguan jiwa
2.         Penyebab gangguan jiwa
3.         Macam –macam gangguan jiwa
4.         Pencegahan kekambuhan gangguan jiwa
5.         Perawatan gangguan jiwa di rumah
6.         Rekonstruksi tindakan pemasungan

D.      Uraian Materi Pembelajaran
1.         Pengertian gangguan jiwa
Gangguan jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa. Gangguan  jiwa adalah gangguan  otak yang ditandai oleh terganggunya  emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Gangguan  jiwa ini menimbulkan  stress dan penderitaan bagi penderita (dan keluarganya) (Stuart & Sundeen, 1998).
Gangguan  jiwa dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal umur, ras,  agama, maupun status sosial-ekonomi.Gangguan  jiwa bukan disebabkan oleh kelemahan pribadi. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau  mitos yang salah mengenai gangguan  jiwa, ada yang percaya bahwa gangguan jiwadisebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat  guna-guna, karena kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan  jiwa tidak mendapat pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).


2.         Penyebab gangguan jiwa
Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik), (Maramis1994). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan badan ataupun jiwa.
3.         Macam –macam gangguan jiwa
Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang psikologik dari unsur psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa (Rusdi Maslim, 1998): Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.
a.         Skizofrenia.
Merupakan  bentuk  psikosa  fungsional  paling  berat,  dan  menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar.Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala.Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis, 1994).Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya berakhir dengan personalitas yang rusak ” cacat ” (Ingram et al.,1995).
b.        Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan, 1998).Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997).Depresi adalah suatu perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan.Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho, 2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah, harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan dan menunjukkan kesedihan dengan tanda depresi (Rawlins et al., 1993). Individu yang menderita suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktifitas (Depkes, 1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang mulai pulih (Atkinson, 2000).
c.         Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi sebaik-baiknya, Maslim (1991).Suatu keadaan seseorang merasa khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins 1993).Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak dikenali.Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai tingkat berat.Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasn ringan, sedang, berat dan kecemasan panik.
d.        Gangguan Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian (psikopatia) dan gejala-gejala nerosa berbentuk hampir sama pada orang-orang dengan intelegensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan kepribadian,  nerosa dan gangguan intelegensi sebagaian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid, kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif, kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepribadian histerik, kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif, kepribadian inadequate.( Maslim,1998).
e.         Gangguan Mental Organik
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak yang terganggu itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit tertentu daripada pembagian akut dan menahun.
f.         Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah (Maramis, 1994).Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.
g.        Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa  perkembangan,  sehingga  berpengaruh  pada  tingkat  kecerdasan  secara menyeluruh, misalnya  kemampuan  kognitif,  bahasa,  motorik  dan  social (Maslim,1998).
h.        Gangguan Perilaku Masa Anak dan Remaja.
Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat (Maramis, 1994).Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling memengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahan kepribadian.Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah.
4.         Pencegahan kekambuhan gangguan jiwa
Pencegahan Kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan (Stiart dan Laraia, 2001). Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada tahun ke dua (Yosep, 2006). Kekambuhan biasa terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh (Wiramis harja, 2007).
Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger (1988) :
a.         Klien: Sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai 50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.
b.        Dokter (pemberi resep): Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
c.         Penanggung jawab klien: Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.
d.        Keluarga: Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress.Cara terapi bisanya:Mengumpulkan semua anggota keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien ganguan jiwa, memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan keluarganya yaitu :
a.         Menjadi ragu-ragu dan serba takut (nervous)
b.        Tidak nafsu makan
c.         Sukar konsentrasi
d.        Sulit tidur
e.         Depresi
f.         Tidak ada minat
g.        Menarik diri
Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai “ruangan perawatan”. Perawat, klien dan keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di puskesmas.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan dapat mempengaruhi seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota. Bila ayah sakit maka akan mempengaruhi perilaku anak, dan istrinya, termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah; keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger, 1988). Klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.
5.         Perawatan gangguan jiwa di rumah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat penderita gangguan jiwa dirumah :
a.         Memberikan kegiatan/ kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
b.        Berikan tugas yang sesuai kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan sesuai perkembangan.
c.         Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri dalam melakukan kegiatan, misalnya; makan bersama, bekerja bersama, rekreasi bersama, dll.
d.        Minta keluarga atau teman menyapa ketika bertemu dengan penderita, dan jangan mendiamkan penderita, atau jangan membiarkan penderita berbicara sendiri.
e.         Mengajak/ mengikutsertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat, misalnya pengajian, kerja bakti dsb.
f.         Berikan pujian yang realistis terhadap keberhasilan penderita, atau dukungan untuk keberhasilan sosial penderita.
g.        Hindarkan berbisik-bisik di depan penderita/ ada penderita dalam suatu ruangan yang sama/ disaksikan oleh penderita.
h.        Mengontrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu minum obat dengan prinsip benar nama obat, benar nama pasien, benar dosis, benar waktu, benar cara pemberian.
i.          Mengenali adanya tanda - tanda ke kambuhan seperti; sulit tidur, mimpi buruk, bicara sendiri, senyum sendiri, marah-marah, sulit makan, menyendiri, murung, bicara kacau, marah-marah, dll.
j.          Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah.
k.        Segera kontrol jika terjadi perubahan perilaku yang menyimpang, atau obat habis.
6.         Rekonstruksi tindakan pemasungan
Sejak dulu banyak pihak yang melihat orang dengan gangguan jiwa adalah sosok yang menakutkan, sulit diatur dan kerap membahayakan orang lain sehingga banyak yang memilih mencegah interaksi mereka yang mengalami gangguan jiwa dengan masyarakat umum melalui pasung.  Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menemukan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) berjumlah 1,7 permil dari populasi atau sebanding dengan 400.000 penderita.  Juga ditemukan 14,3 persen Orang dengan Gangguan Jiwa(ODGJ) atau setara dengan 57.000 ODGJ pernah mengalami pemasungan di dalam kehidupannya. Berdasarkan jumlah ODGJ dipasung kurang lebih 50.000 orang.
 Pemasungan adalah tindakan yang menghalangi setiap orang dengan gangguan jiwa memperoleh dan melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara. Haka-hak tersebut meliputi hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh pendidikan/pekerjaan, hak memperoleh kehidupan sosial.
 Pemasungan dilakukan dengan cara dipasung dan pengisolasian. Pasung merupakan semua metode manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasung atau ditempelkan pada tubuh ODGJ dan membuat tidak dapat bergerak dengan mudah atau yang membatasi kebebasan dalam mengerakan tangan, kaki atau kepala. Pengesolasian merupakan tindakan mengurung ODGJ sendirian tanpa persetujuan atau dengan paksa, dalam suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar atau meninggalkan ruangan atau area tersebut.  Pemasung terjadi karena bermacam –macam alasan. Sebagian masyarakat memiliki pemahaman dan pengetahuan yang keliru tentang gangguan jiwa. ODGJ diaggap sebagai orang kerasukan setan, kena teluh atau berbahaya bagi lingkungannya. Pemasung anggap sebagai solusi untuk mengendalikan gejala kerasukan, kena teluh atau mengurangi keberbahayaan ODGJ. Ditempat lain, kesulitan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan atau ketiadaan pelayanan kesehatan jiwa disuatu tempat menjadikan masyarakat mencari jalan pintas untuk mengendalikan gejala-gejala gangguan terhadap ODGJ.
 Upaya pemasungan dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Dalam sejumlah peraturan perundang-undangan bahkan dalam konstitusi negara, disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki hal yang sama untuk semua sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga hak-hak lainnya sebagai warga negara.
 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 i ayat (1) menyatakan bahwa setaip orang memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa…adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apap pun.
 Undang-Undang No 39 Tahun1999 tentang hak asasi manusia pasal 42 menyatakan bahwa setiap warga Negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak mendapatkan perawatan, pendi- dikan pelatihan dan bantuan khusus atas biaya Negarauntuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkat rasa percaya diri dan kemam- puan beradaptasi dalam kehidupan  bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
 Undang-Undang No 36 Tahun 2019 pasal 148 ayat 1 menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga Negara semantara  Pasal 149 menyatakan penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam ke selamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
 Tindakan pemasungan terhadap ODGJ adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. UU No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasungan, penelanataran, kekerasan dan atau menyuruh orang lain melakukan pemasungan, penelantaran dan atau kekerasan terhadap ODKM atau ODGJ atau tindakan lain nya yang melanggar hukum ODKM dan ODGJ dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan juga dalam salah satu pasanya menyatakan barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian diancam dengan pidana penjara yang paling lama delapan tahun. Hukuman akan bertambah bila kemudian menimbulkan luka-luka bahkan kematian.
 Adanya jaminan undang-undang mengharuskan setaip ODGJ mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak dipasung karena pemasungan merupakan pelanggaran atas hak pengobatan dan juga merupakan bentuk kekerasan terhadap ODGJ.
Pemerintah Republik Indonesia sebetulnya telah menginisiasi upaya untuk tidak ada lagi pemasukang bagi orang yang mengalami gangguan jiwa atau keterbelakangan mental sebagai upaya untuk memastikan semua warga negara mendapatkan hak yang sama dalam perawatan kesehatan.
 Penanggulangan pemasungan sudah dimulai sejak Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tanggal 11 November 1977 yang ditujukan kepada Seluruh Gubernur yang berisi pelarangan melakukan pemasungan terhadap ODGJ. Namun demikian, berdasarkan laporan masyarakat dan media massa, masih ditemukan banyak ODGJ dipasung.
 Pada tahun 2010 Direktorat Bina Kesehatan Jiwa (Dit. Bina Keswa), Kementerian Kesehatan menyelenggarakan Program Indonesia Bebas Pasung. Tujuan Program Indonesia Bebas Pasung adalah terselenggaranya perlindungan Hak azasi bagi ODGJ, tercapainya peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan di bidang Kesehatan Jiwa dan meningkatkan pemahaman masyarakatserta menghapus stigma yang buruk tentang masalah-masalah gangguan kese- hatan jiwa khususnya penelantaran dan pemasungan ODGJ.
 Hal lain yang termasuk ke dalam program itu adalaht erselenggaranya pelayanan kesehatan jiwa yang berkualitas disetiap tinggkat layanan masyarakat dan tercapainya kerjasama dan koordinasi lintas sektor di bidang upaya penanggulangan ODGJ di pasung sehingga ODGJ mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan tidak ada lagi ODGJ yang dipasung dan ODGJ yang dipasung dapat dibebaskan, diobati dan dikembalikan kemasyarakat.
 Untuk mencapai tujuan yang dimaksud Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan telah melakuka sejumlah kegiatan antara lain menyusun Pedoman penaggulangan pemasungan, penelantaran perlakuan salah lainnya terhadap ODGJ, melakukan Odvokasi kepada pemangku kepentingan di Provinsi dan Kabupaten dan Kota, Melakukan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit Umum dalam penanganan masalah kesehatan jiwa.
 Disamping itu, Dit. Bina Keswa turut terlibat dalam menyusun perundang-undangan yang mengatur masalah kesehatan jiwa di antaranya Undang-Undang kesehatan jiwa. Kementerian Kesehatan telah menyediakan dan menghibahkan obat antipsikotik injeksi long acting sebagai bagian dari upaya pencagahan kekambuhan pada ODGJ.  Sebelum program bebas pasung dijalankan, hingga tahun 2009, jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan berjumlah 211 orang dan 96 orang diantaranya dibebaskan dan mendapat pelayanan medik.  Namun sejak 2010 hingga bulan Desember 2014, jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan menjadi 5.868 kasus dengan 4.905 kasus dibebaskan dan mendapat pengobatan medik.
 Selain itu, sebelum tahun 2010 jumlah provinsi yang melakukan upaya penemuan pembebasan dan penanganan medik ODGJ dipasung hanya 12 Provinsi dari 33 Provinsi. Namun Tahun 2014 jumlah Provinsi yang telah berpartisipasi dalam Program Indonesia Bebas Pasung berjumlah 28 Provinsi dari 34 Provinsi.  Saat ini telah ada lima pemerintah Provinsi yang telah mengesahkan peraturan tentang bebas pasung yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Jawa Timur.  Dalam bidang pelayanan saat ini jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa makin bertambah. Diharapkan hal ini akan memudahkan ODGJ mendapat pengobatan sehingga mengurangi pemasungan.
 Jumlah Puskesmas yang memberi pelayanan kesehatan jiwa adalah 4.182 dari 9.005 Puskesmas atau 46,44 persen. Jumlah Rumah Sakit Umum yang memberikan pelayanan kesehatan Jiwa baik rawat jalan dan atau rawat inap berjumlah 249 dari 445 RSU Kabupaten/Kota atau 55,95 persen. Lembaga swadaya masyarakat baik dari dalam negeri maupun luar negeri juga berperan dalam upaya Indonesia bebas Pasung antara lain di Provinsi Aceh,
 Disamping hal-hal yang telah dicapai di atas ternyata upaya penanganan dan penanggulangan ODGJ dipasung melalui Program Indonesia Bebas Pasung masih mengalami beberapa kendala, dintaranya masih terdapat enam Provinsi dari 34 Provinsi yang belum berpartisipasi dalam penyelenggaraan program bebas pasung, kemudian kurangnya dukungan keluarga dan masyarakat dalam mengupayakan pembebasan dan penanganan medik bagi ODGJ dipasung. Hal ini tercermin dari masih tingginya ODGJ dipasung yang ditemukan namun belum mendapatkan penangan medik.
 Juga masih menjadi masalah kurangnya dukungan beberapa Pemerintah Daerah dalam Program Indonesia Bebas Pasung. Hal ini tercermin dari rendahnya anggaran kesehatan jiwa di daerah serta belum tersedianya fasilitas layanan obat-obatan untuk melayani ODGJ.  Suksesnya pelaksanaan Program Indonesia Bebas Pasung tidak terlepas dari peran serta pemerintah daerah.  Dukungan sangat diperlukan dalam menerbitkan peraturan  yang melindungi ODGJ, mengupayakan penemuan dan penanganan medik ODGJ serta melakukan upaya rehabilitasi ODGJ kembali ke masyarakat.
 Pemerintah daerah  dapat menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan miliknya dalam upaya pengobatan dan perawatan ODGJ menyediakan fasilitas rehabilitasi ODGJ serta menyediakan anggaran dalam penanganan ODGJ serta menyediakan obat-obatan yang diperlukan dalam pencegahan kekambuhan bagi ODGJ.
 Juga perlu ditingkatkan upaya prmotif magi masyarakat dalam hal kesehatan jiwa agar masyarakat mengetahui masalah kesehatan jiwa, dilakukanya berbagai upaya untuk mencegah dan menangani masalah kesehatan jiwa, menghargai dan melindungi ODGJ, serta memberdayakan ODGJ.

E.       Rangkuman
Gangguan  jiwa adalah gangguan  otak yang ditandai oleh terganggunya  emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik).
Macam-macam gangguan jiwa: Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan remaja.
Pencegahan Kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan.
Upaya pemasungan dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Dalam sejumlah peraturan perundang-undangan bahkan dalam konstitusi negara, disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki hal yang sama untuk semua sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga hak-hak lainnya sebagai warga negara.

F.       Tes Formatif
a.         Langkah – langkah
Berikut ini diberikan soal formatif, Anda diminta mengerjakan di lembar kertas tersendiri (tidak didalam modul). Apabila semua soal tugas sudah selesai Anda kerjakan, Anda dipersilahkan untuk melihat kunci jawaban dan membandingkan jawaban Anda dengan jawaban yang ada dikunci jawaban.
Periksalah hasil pekerjaan Anda.kemudian hitunglah jawaban Anda yang benar, gunakan rumus yang ada pada bagian pendahuluan. Apabila Anda berhasil menyelesaikan (menjawab) soal formatif dengan 80% benar, maka Anda diperkenankan untuk melanjutkan mempelajari pembelajaran yang diuraikan pada kegiatan belajar berikutnya.
b.         Soal Formatif
Seorang perawat yang bertugas di suatau pusat kesehatan masyarakat (PKM) mendapat informasi dari salah seorang warga terkait tindakan pemasungan, menurut cerita warga tersebut Tn. ‘B” Seorang pria berumur 56 tahun mengalami gangguan jiwa sejak 10 tahun yang lalu, sudah pernah dirawat di RSJ selama 6 bulan setelah itu dibawa pulang oleh keluarga dengan catatan wajib control ke PKM/ RSJ ketika obat habis. Karena keterbatasan biaya keluarga memutuskan untuk tidak meberikan perawatan medis pada klien. Setelah tidak minum obat selama 2 bulan muncul tanda – tanda kekambuhan pada Tn. ‘B”. tanpa sebab yang jelas istri, anak dan tetangga sekitar rumah tiba- tiba  dimarahi dan diserang oleh klien. Keluarga berpendapat penyakit Tn.”B’ tidak dapat disembuhkan.lagi oleh medis.  Karena kawatir terhadap kondisi klien yang demikian tadi dan malu terhadap para tetangga, keluarga mengambil keputusan untuk memasung Tn.“B” supaya tidak  membayakan orang lain. Perawat melakukan diverifikasi di lapangan dengan mendatangi rumah keluarga Tn.’B” kemudian Melakukan pemeriksaan TTV dan tanda – tanda cidera yg berhub dgn proses pengikatan (ROM) dan status mental. Kemudian juga meLakukan penilaian kebersihan,  status gizi, dan kemungkinan terjadinya dehidrasi.
1.        Setelah anda membaca kasus diatas sebagai perawat yang kopeten dan professional dibidang kesehatan jiwa. Menurut analisa anda apa alasan keluarga memasung Tn. ‘B’.
1.        Mengganggu orang lain atau tetangga  dan Membahayakan dirinya sendiri
2.        Tidak ada biaya
3.        Ketidakpahaman keluarga dan masyarakat tentang gangguan jiwa.
4.        Jauhnya akses pelayanan kesehatan
2.        Apakah Kasus diatas menurut anda menunjukkan kurangngya dukungan serta peran keluarga dalam perawatan klien dengan gangguan jiwa. Peran keluarga yang harus dilakukan adalah.
1.        Mengajarkan klien untuk bersosialisasi dan mengenal dengan dunia luar
2.        Mengajarkan klien untuk bisa aktif melakukan ADL
3.        Memperbaiki hubungan interpersonal klien dengan setiap anggota keluarga
4.        Memberikan perhatian dan rasa kasih sayang dan penghargaan sosial kepada penderita
3.        Dampak kuranggnya peran keluarga pada perawatan klien dengan gangguan jiwa yaitu.
1.        Memperlambat Proses Penyembuhan
2.        Menaikkan Angka Kekambuhan
3.        Kurang Tanggap Terhadap gangguan kesehatan jiwa
4.        Memperburuk hubungan intrapersonal klien
4.        Penatalaksanaan yang tepat bagi klien seperti Tn.B adalah
1.        Berbicara dengan baik, tidak membentak, dan tanpa pemaksaan ketika menyuruh pasien.
2.        Selalu jujur dengan pasien.
3.        Mendampingi pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
4.        Memberikan klien tindakan dan kegiatan yang positif. Misal: membantu orang tua bekerja
5.        Upaya tepat dalam rangka Pencegahan kasus pemasungan pada klien dengan gangguan jiwa adalah.
1.        Deteksi dini kasus ODGJ yg beresiko pasung
2.        Peningkatan kemampuan dasar keluarga unt merawat ODGJ
3.        Komunikasi, informasi dan edukasi, ttg ganguan jiwa kpd msy
4.        Pemantauan tehadap ODGJ dan keluarga

G.      Tugas Mandiri
Jelaskan apa yang harus dilakukan perawat homecare untuk perawatan pasien gangguan jiwa di rumah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar