PERAWATAN KLIEN JIWA DI RUMAH DAN REKONSTRUKSI TINDAKAN PEMASUNGAN
A.
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah selesai mempelajari materi pembelajaran yang diuraikan pada kegiatan belajar-5
ini, Anda diharapkan akan mampu memahami perawatan klien
jiwa di rumah.
B.
Tujuan Pembelajaran
Khusus
Setelah selesai
mempelajari materi
pembelajaran ini, Anda diharapkan akan
dapat :
1.
Menjelaskan pengertian
gangguan jiwa
2.
Menjelaskan penyebab
gangguan jiwa
3.
Menjelaskan macam –macam
gangguan jiwa
4.
Menjelaskan pencegahan
kekambuhan gangguan jiwa
5.
Menjelaskan perawatan
gangguan jiwa di rumah
6.
Menjelaskan rekonstruksi
tindakan pemasungan
C.
Pokok – Pokok Materi
Adapun pokok-pokok materi yang akan Anda pelajari pada kegiatan belajar-5 ini adalah:
1.
Pengertian gangguan jiwa
2.
Penyebab gangguan jiwa
3.
Macam –macam gangguan
jiwa
4.
Pencegahan kekambuhan
gangguan jiwa
5.
Perawatan gangguan jiwa
di rumah
6.
Rekonstruksi tindakan
pemasungan
D.
Uraian Materi
Pembelajaran
1.
Pengertian gangguan jiwa
Gangguan
jiwa adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi jiwa. Gangguan jiwa adalah
gangguan otak yang ditandai
oleh terganggunya emosi, proses
berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera). Gangguan jiwa ini
menimbulkan stress dan penderitaan
bagi penderita (dan keluarganya) (Stuart & Sundeen, 1998).
Gangguan
jiwa dapat mengenai
setiap orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status
sosial-ekonomi.Gangguan jiwa bukan
disebabkan oleh kelemahan pribadi. Di masyarakat banyak beredar kepercayaan
atau mitos yang salah
mengenai gangguan jiwa, ada yang
percaya bahwa gangguan jiwadisebabkan oleh gangguan roh jahat, ada yang menuduh
bahwa itu akibat guna-guna, karena kutukan
atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan merugikan
penderita dan keluarganya karena pengidap gangguan jiwa tidak mendapat
pengobatan secara cepat dan tepat (Notosoedirjo, 2005).
2.
Penyebab gangguan jiwa
Gejala
utama atau gejala yang menonjol pada gangguan jiwa terdapat pada unsur
kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan (somatogenik), di
lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik), (Maramis1994).
Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi beberapa penyebab
sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi atau kebetulan
terjadi bersamaan, lalu timbulah gangguan badan ataupun jiwa.
3.
Macam –macam gangguan
jiwa
Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah gejala-gejala yang
psikologik dari unsur psikis (Maramis, 1994). Macam-macam gangguan jiwa (Rusdi Maslim,
1998): Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal
dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik, gangguan
somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan
faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa, retardasi mental,
gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan emosional dengan onset
masa kanak dan remaja.
a.
Skizofrenia.
Merupakan bentuk psikosa
fungsional paling berat,
dan menimbulkan disorganisasi
personalitas yang terbesar.Skizofrenia juga merupakan suatu bentuk psikosa yang
sering dijumpai dimana-mana sejak dahulu kala.Meskipun demikian pengetahuan
kita tentang sebab-musabab dan patogenisanya sangat kurang (Maramis,
1994).Dalam kasus berat, klien tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga
pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan penyakit ini secara bertahap
akan menuju kearah kronisitas, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. Jarang
bisa terjadi pemulihan sempurna dengan spontan dan jika tidak diobati biasanya
berakhir dengan personalitas yang rusak ” cacat ” (Ingram et al.,1995).
b.
Depresi
Merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa
dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplan, 1998).Depresi juga dapat
diartikan sebagai salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan yang
ditandai dengan kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna, putus asa dan lain sebagainya (Hawari, 1997).Depresi adalah suatu
perasaan sedih dan yang berhubungan dengan penderitaan.Dapat berupa serangan
yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang mendalam (Nugroho,
2000). Depresi adalah gangguan patologis terhadap mood mempunyai karakteristik
berupa bermacam-macam perasaan, sikap dan kepercayaan bahwa seseorang hidup
menyendiri, pesimis, putus asa, ketidak berdayaan, harga diri rendah, bersalah,
harapan yang negatif dan takut pada bahaya yang akan datang. Depresi menyerupai
kesedihan yang merupakan perasaan normal yang muncul sebagai akibat dari
situasi tertentu misalnya kematian orang yang dicintai. Sebagai ganti rasa
ketidaktahuan akan kehilangan seseorang akan menolak kehilangan dan menunjukkan
kesedihan dengan tanda depresi (Rawlins et al., 1993). Individu yang menderita
suasana perasaan (mood) yang depresi biasanya akan kehilangan minat dan
kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktifitas (Depkes, 1993). Depresi dianggap normal terhadap banyak
stress kehidupan dan abnormal hanya jika ia tidak sebanding dengan peristiwa
penyebabnya dan terus berlangsung sampai titik dimana sebagian besar orang
mulai pulih (Atkinson, 2000).
c.
Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah dialami
oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk mengatasi masalah yang
dihadapi sebaik-baiknya, Maslim (1991).Suatu keadaan seseorang merasa khawatir
dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak spesifik (Rawlins
1993).Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau tidak
dikenali.Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat ringan sampai
tingkat berat.Menurut Sundeen (1995) mengidentifikasi rentang respon kecemasan
kedalam empat tingkatan yang meliputi, kecemasn ringan, sedang, berat dan
kecemasan panik.
d.
Gangguan
Kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gejala gangguan kepribadian
(psikopatia) dan gejala-gejala nerosa berbentuk hampir sama pada orang-orang
dengan intelegensi tinggi ataupun rendah. Jadi boleh dikatakan bahwa gangguan
kepribadian, nerosa dan gangguan
intelegensi sebagaian besar tidak tergantung pada satu dan lain atau tidak
berkorelasi. Klasifikasi gangguan kepribadian: kepribadian paranoid,
kepribadian afektif atau siklotemik, kepribadian skizoid, kepribadian axplosif,
kepribadian anankastik atau obsesif-konpulsif, kepribadian histerik,
kepribadian astenik, kepribadian antisosial, Kepribadian pasif agresif,
kepribadian inadequate.( Maslim,1998).
e.
Gangguan Mental
Organik
Merupakan gangguan jiwa yang psikotik atau non-psikotik yang
disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak (Maramis,1994). Gangguan fungsi
jaringan otak ini dapat disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama
mengenai otak atau yang terutama diluar otak. Bila bagian otak yang terganggu
itu luas , maka gangguan dasar mengenai fungsi mental sama saja, tidak
tergantung pada penyakit yang menyebabkannya bila hanya bagian otak dengan
fungsi tertentu saja yang terganggu, maka lokasi inilah yang menentukan gejala
dan sindroma, bukan penyakit yang menyebabkannya. Pembagian menjadi psikotik dan
tidak psikotik lebih menunjukkan kepada berat gangguan otak pada suatu penyakit
tertentu daripada pembagian akut dan menahun.
f.
Gangguan
Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi badaniah
(Maramis, 1994).Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang
dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat disamakan
dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena biasanya hanya fungsi
faaliah yang terganggu, maka sering disebut juga gangguan psikofisiologik.
g.
Retardasi
Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang terhenti
atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan
selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat
kecerdasan secara menyeluruh,
misalnya kemampuan kognitif,
bahasa, motorik dan
social (Maslim,1998).
h.
Gangguan
Perilaku Masa Anak dan Remaja.
Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang tidak
sesuai dengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat (Maramis,
1994).Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam asuhan
dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau mungkin dari
lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling memengaruhi.
Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat kepribadian yang umum
dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.Pada gangguan otak seperti
trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat mengakibatkan perubahan
kepribadian.Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi perilaku anak, dan sering
lebih menentukan oleh karena lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian
gangguan perilaku itu dapat dipengaruhi atau dicegah.
4.
Pencegahan kekambuhan
gangguan jiwa
Pencegahan Kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa
timbulnya kembali gejala-gejala yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan
(Stiart dan Laraia, 2001). Pada gangguan jiwa kronis diperkirakan mengalami
kekambuhan 50% pada tahun pertama, dan 79% pada tahun ke dua (Yosep, 2006).
Kekambuhan biasa terjadi karena adanya kejadian-kejadian buruk sebelum mereka
kambuh (Wiramis harja, 2007).
Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah
sakit, menurut Sullinger (1988) :
a.
Klien: Sudah
umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai
kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan 25% sampai
50% klien yang pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur.
b.
Dokter (pemberi
resep): Makan obat yang teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptic
yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat
mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol.
c.
Penanggung
jawab klien: Setelah klien pulang ke rumah maka perawat puskesmas tetap
bertanggung jawab atas program adaptasi klien di rumah.
d.
Keluarga:
Berdasarkan penelitian di Inggris dan Amerika keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi (bermusuhan, mengkritik, tidak ramah, banyak menekan dan
menyalahkan), hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi
yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi
keluarga yang rendah. Selain itu klien juga mudah dipengaruhi oleh stress yang
menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan
(kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien dan keluarga dapat
mengatasi dan mengurangi stress.Cara terapi bisanya:Mengumpulkan semua anggota
keluarga dan memberi kesempatan menyampaikan perasaan-perasaannya. Memberi
kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan baru kepada klien ganguan jiwa,
memfasilitasi untuk hijrah menemukan situasi dan pengalaman baru.
Beberapa gejala kambuh yang perlu diidentifikasi oleh klien dan
keluarganya yaitu :
a.
Menjadi ragu-ragu
dan serba takut (nervous)
b.
Tidak nafsu
makan
c.
Sukar
konsentrasi
d.
Sulit tidur
e.
Depresi
f.
Tidak ada minat
g.
Menarik diri
Setelah klien pulang ke rumah, sebaiknya klien melakukan perawatan
lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa.
Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai
“ruangan perawatan”. Perawat, klien dan keluarga besar sama untuk membantu
proses adaptasi klien di dalam keluarga dan masyarakat. Perawat dapat membuat
kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di
puskesmas.
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan
merupakan “perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara
atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit
dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian mengakibatkan klien
harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS
akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga
kemungkinan dapat dicegah.
Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat
dipandang dari berbagai segi. Pertama, keluarga merupakan tempat dimana
individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga
merupakan “institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan
mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan,
1982). Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik
keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini
merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.
Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang
terjadi pada salah satu anggota merupakan dapat mempengaruhi seluruh sistem,
sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada
anggota. Bila ayah sakit maka akan mempengaruhi perilaku anak, dan istrinya,
termasuk keluarga lainnya. Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa
adalah; keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah
(Sullinger, 1988). Klien dengan diagnosa skizofrenia diperkirakan akan kambuh
50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua dan 100% pada tahun kelima setelah
pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di
masyarakat.
5.
Perawatan gangguan jiwa
di rumah
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat penderita
gangguan jiwa dirumah :
a.
Memberikan kegiatan/
kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
b.
Berikan tugas yang sesuai
kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan sesuai perkembangan.
c.
Menemani dan tidak
membiarkan penderita sendiri dalam melakukan kegiatan, misalnya; makan bersama,
bekerja bersama, rekreasi bersama, dll.
d.
Minta keluarga atau teman
menyapa ketika bertemu dengan penderita, dan jangan mendiamkan penderita, atau
jangan membiarkan penderita berbicara sendiri.
e.
Mengajak/ mengikutsertakan
penderita dalam kegiatan bermasyarakat, misalnya pengajian, kerja bakti dsb.
f.
Berikan pujian yang
realistis terhadap keberhasilan penderita, atau dukungan untuk keberhasilan
sosial penderita.
g.
Hindarkan berbisik-bisik
di depan penderita/ ada penderita dalam suatu ruangan yang sama/ disaksikan
oleh penderita.
h.
Mengontrol dan
mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu minum obat dengan
prinsip benar nama obat, benar nama pasien, benar dosis, benar waktu, benar
cara pemberian.
i.
Mengenali adanya tanda -
tanda ke kambuhan seperti; sulit tidur, mimpi buruk, bicara sendiri, senyum
sendiri, marah-marah, sulit makan, menyendiri, murung, bicara kacau,
marah-marah, dll.
j.
Kontrol suasana lingkungan
yang dapat memancing terjadinya marah.
k.
Segera kontrol jika
terjadi perubahan perilaku yang menyimpang, atau obat habis.
6.
Rekonstruksi tindakan
pemasungan
Sejak
dulu banyak pihak yang melihat orang dengan gangguan jiwa adalah sosok yang
menakutkan, sulit diatur dan kerap membahayakan orang lain sehingga banyak yang
memilih mencegah interaksi mereka yang mengalami gangguan jiwa dengan
masyarakat umum melalui pasung. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun
2013 menemukan prevalensi gangguan jiwa berat (psikosis/skizofrenia) berjumlah
1,7 permil dari populasi atau sebanding dengan 400.000 penderita. Juga
ditemukan 14,3 persen Orang dengan Gangguan Jiwa(ODGJ) atau setara dengan
57.000 ODGJ pernah mengalami pemasungan di dalam kehidupannya. Berdasarkan
jumlah ODGJ dipasung kurang lebih 50.000 orang.
Pemasungan
adalah tindakan yang menghalangi setiap orang dengan gangguan jiwa memperoleh
dan melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara. Haka-hak tersebut meliputi
hak memperoleh penghasilan, hak memperoleh pendidikan/pekerjaan, hak memperoleh
kehidupan sosial.
Pemasungan
dilakukan dengan cara dipasung dan pengisolasian. Pasung merupakan semua metode
manual yang menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasung atau ditempelkan
pada tubuh ODGJ dan membuat tidak dapat bergerak dengan mudah atau yang
membatasi kebebasan dalam mengerakan tangan, kaki atau kepala. Pengesolasian
merupakan tindakan mengurung ODGJ sendirian tanpa persetujuan atau dengan
paksa, dalam suatu ruangan atau area yang secara fisik membatasi untuk keluar
atau meninggalkan ruangan atau area tersebut. Pemasung terjadi karena
bermacam –macam alasan. Sebagian masyarakat memiliki pemahaman dan pengetahuan
yang keliru tentang gangguan jiwa. ODGJ diaggap sebagai orang kerasukan setan,
kena teluh atau berbahaya bagi lingkungannya. Pemasung anggap sebagai solusi
untuk mengendalikan gejala kerasukan, kena teluh atau mengurangi keberbahayaan
ODGJ. Ditempat lain, kesulitan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan atau
ketiadaan pelayanan kesehatan jiwa disuatu tempat menjadikan masyarakat mencari
jalan pintas untuk mengendalikan gejala-gejala gangguan terhadap ODGJ.
Upaya
pemasungan dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan bahkan dalam konstitusi negara,
disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki hal yang sama untuk semua
sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga hak-hak lainnya sebagai
warga negara.
Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 i ayat (1) menyatakan bahwa setaip orang
memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa…adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apap pun.
Undang-Undang
No 39 Tahun1999 tentang hak asasi manusia pasal 42 menyatakan bahwa setiap
warga Negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
mendapatkan perawatan, pendi- dikan pelatihan dan bantuan khusus atas biaya
Negarauntuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat
kemanusiaannya, meningkat rasa percaya diri dan kemam- puan beradaptasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Undang-Undang
No 36 Tahun 2019 pasal 148 ayat 1 menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai
hak yang sama sebagai warga Negara semantara Pasal 149 menyatakan
penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam ke selamatan
dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan
umum wajib mendapat pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Tindakan
pemasungan terhadap ODGJ adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. UU
No 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa pasal 86 menyatakan “Setiap orang yang
dengan sengaja melakukan pemasungan, penelanataran, kekerasan dan atau menyuruh
orang lain melakukan pemasungan, penelantaran dan atau kekerasan terhadap ODKM
atau ODGJ atau tindakan lain nya yang melanggar hukum ODKM dan ODGJ dipidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 333 menyatakan juga dalam salah satu
pasanya menyatakan barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian
diancam dengan pidana penjara yang paling lama delapan tahun. Hukuman akan
bertambah bila kemudian menimbulkan luka-luka bahkan kematian.
Adanya
jaminan undang-undang mengharuskan setaip ODGJ mendapat pengobatan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan dan tidak dipasung karena pemasungan
merupakan pelanggaran atas hak pengobatan dan juga merupakan bentuk kekerasan
terhadap ODGJ.
Pemerintah
Republik Indonesia sebetulnya telah menginisiasi upaya untuk tidak ada lagi
pemasukang bagi orang yang mengalami gangguan jiwa atau keterbelakangan mental
sebagai upaya untuk memastikan semua warga negara mendapatkan hak yang sama
dalam perawatan kesehatan.
Penanggulangan
pemasungan sudah dimulai sejak Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tanggal
11 November 1977 yang ditujukan kepada Seluruh Gubernur yang berisi pelarangan
melakukan pemasungan terhadap ODGJ. Namun demikian, berdasarkan laporan
masyarakat dan media massa, masih ditemukan banyak ODGJ dipasung.
Pada
tahun 2010 Direktorat Bina Kesehatan Jiwa (Dit. Bina Keswa), Kementerian
Kesehatan menyelenggarakan Program Indonesia Bebas Pasung. Tujuan Program
Indonesia Bebas Pasung adalah terselenggaranya perlindungan Hak azasi bagi
ODGJ, tercapainya peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan di
bidang Kesehatan Jiwa dan meningkatkan pemahaman masyarakatserta menghapus
stigma yang buruk tentang masalah-masalah gangguan kese- hatan jiwa khususnya
penelantaran dan pemasungan ODGJ.
Hal
lain yang termasuk ke dalam program itu adalaht erselenggaranya pelayanan
kesehatan jiwa yang berkualitas disetiap tinggkat layanan masyarakat dan
tercapainya kerjasama dan koordinasi lintas sektor di bidang upaya
penanggulangan ODGJ di pasung sehingga ODGJ mendapatkan perlakuan yang
manusiawi dan tidak ada lagi ODGJ yang dipasung dan ODGJ yang dipasung dapat
dibebaskan, diobati dan dikembalikan kemasyarakat.
Untuk
mencapai tujuan yang dimaksud Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementerian
Kesehatan telah melakuka sejumlah kegiatan antara lain menyusun Pedoman
penaggulangan pemasungan, penelantaran perlakuan salah lainnya terhadap ODGJ,
melakukan Odvokasi kepada pemangku kepentingan di Provinsi dan Kabupaten dan
Kota, Melakukan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan di Puskesmas dan Rumah
Sakit Umum dalam penanganan masalah kesehatan jiwa.
Disamping
itu, Dit. Bina Keswa turut terlibat dalam menyusun perundang-undangan yang
mengatur masalah kesehatan jiwa di antaranya Undang-Undang kesehatan jiwa. Kementerian
Kesehatan telah menyediakan dan menghibahkan obat antipsikotik injeksi long
acting sebagai bagian dari upaya pencagahan kekambuhan pada ODGJ. Sebelum
program bebas pasung dijalankan, hingga tahun 2009, jumlah kasus ODGJ dipasung
yang ditemukan berjumlah 211 orang dan 96 orang diantaranya dibebaskan dan
mendapat pelayanan medik. Namun sejak 2010 hingga bulan Desember 2014,
jumlah kasus ODGJ dipasung yang ditemukan menjadi 5.868 kasus dengan 4.905
kasus dibebaskan dan mendapat pengobatan medik.
Selain
itu, sebelum tahun 2010 jumlah provinsi yang melakukan upaya penemuan
pembebasan dan penanganan medik ODGJ dipasung hanya 12 Provinsi dari 33
Provinsi. Namun Tahun 2014 jumlah Provinsi yang telah berpartisipasi dalam
Program Indonesia Bebas Pasung berjumlah 28 Provinsi dari 34 Provinsi. Saat
ini telah ada lima pemerintah Provinsi yang telah mengesahkan peraturan tentang
bebas pasung yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Jawa Timur. Dalam
bidang pelayanan saat ini jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang
melaksanakan pelayanan kesehatan jiwa makin bertambah. Diharapkan hal ini akan
memudahkan ODGJ mendapat pengobatan sehingga mengurangi pemasungan.
Jumlah
Puskesmas yang memberi pelayanan kesehatan jiwa adalah 4.182 dari 9.005
Puskesmas atau 46,44 persen. Jumlah Rumah Sakit Umum yang memberikan pelayanan
kesehatan Jiwa baik rawat jalan dan atau rawat inap berjumlah 249 dari 445 RSU
Kabupaten/Kota atau 55,95 persen. Lembaga swadaya masyarakat baik dari dalam
negeri maupun luar negeri juga berperan dalam upaya Indonesia bebas Pasung
antara lain di Provinsi Aceh,
Disamping
hal-hal yang telah dicapai di atas ternyata upaya penanganan dan penanggulangan
ODGJ dipasung melalui Program Indonesia Bebas Pasung masih mengalami beberapa
kendala, dintaranya masih terdapat enam Provinsi dari 34 Provinsi yang belum
berpartisipasi dalam penyelenggaraan program bebas pasung, kemudian kurangnya
dukungan keluarga dan masyarakat dalam mengupayakan pembebasan dan penanganan
medik bagi ODGJ dipasung. Hal ini tercermin dari masih tingginya ODGJ dipasung
yang ditemukan namun belum mendapatkan penangan medik.
Juga
masih menjadi masalah kurangnya dukungan beberapa Pemerintah Daerah dalam
Program Indonesia Bebas Pasung. Hal ini tercermin dari rendahnya anggaran
kesehatan jiwa di daerah serta belum tersedianya fasilitas layanan obat-obatan
untuk melayani ODGJ. Suksesnya pelaksanaan Program Indonesia Bebas Pasung
tidak terlepas dari peran serta pemerintah daerah. Dukungan sangat
diperlukan dalam menerbitkan peraturan yang melindungi ODGJ, mengupayakan
penemuan dan penanganan medik ODGJ serta melakukan upaya rehabilitasi ODGJ
kembali ke masyarakat.
Pemerintah
daerah dapat menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan miliknya dalam
upaya pengobatan dan perawatan ODGJ menyediakan fasilitas rehabilitasi ODGJ
serta menyediakan anggaran dalam penanganan ODGJ serta menyediakan obat-obatan
yang diperlukan dalam pencegahan kekambuhan bagi ODGJ.
Juga
perlu ditingkatkan upaya prmotif magi masyarakat dalam hal kesehatan jiwa agar
masyarakat mengetahui masalah kesehatan jiwa, dilakukanya berbagai upaya untuk
mencegah dan menangani masalah kesehatan jiwa, menghargai dan melindungi ODGJ,
serta memberdayakan ODGJ.
E.
Rangkuman
Gangguan
jiwa adalah gangguan otak yang
ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi
(penangkapan panca indera). Gejala utama atau gejala yang menonjol pada gangguan
jiwa terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya mungkin di badan
(somatogenik), di lingkungan sosial (sosiogenik) ataupun psikis (psikogenik).
Macam-macam
gangguan jiwa: Gangguan jiwa organik dan simtomatik, skizofrenia, gangguan
skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik,
gangguan somatoform, sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan
fisiologis dan faktor fisik, Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa,
retardasi mental, gangguan perkembangan psikologis, gangguan perilaku dan
emosional dengan onset masa kanak dan remaja.
Pencegahan
Kekambuhan adalah mencegah terjadinya peristiwa timbulnya kembali gejala-gejala
yang sebelumnya sudah memperoleh kemajuan.
Upaya
pemasungan dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak manusiawi. Dalam
sejumlah peraturan perundang-undangan bahkan dalam konstitusi negara,
disebutkan dengan jelas setiap warga negara memiliki hal yang sama untuk semua
sektor kehidupan termasuk pelayanan kesehatan dan juga hak-hak lainnya sebagai
warga negara.
F.
Tes Formatif
a.
Langkah
– langkah
Berikut ini diberikan soal formatif, Anda diminta mengerjakan di
lembar kertas tersendiri (tidak didalam modul). Apabila semua soal tugas sudah
selesai Anda kerjakan, Anda dipersilahkan untuk melihat kunci jawaban dan
membandingkan jawaban Anda dengan jawaban yang ada dikunci jawaban.
Periksalah hasil pekerjaan Anda.kemudian hitunglah jawaban Anda
yang benar, gunakan rumus yang ada pada bagian pendahuluan. Apabila Anda
berhasil menyelesaikan (menjawab) soal formatif dengan 80% benar, maka Anda
diperkenankan untuk melanjutkan mempelajari pembelajaran yang diuraikan pada
kegiatan belajar berikutnya.
b.
Soal
Formatif
Seorang perawat yang bertugas di suatau pusat
kesehatan masyarakat (PKM) mendapat informasi dari salah
seorang warga terkait tindakan pemasungan, menurut cerita warga tersebut Tn. ‘B” Seorang pria berumur 56 tahun
mengalami gangguan jiwa sejak 10 tahun yang lalu, sudah pernah dirawat di RSJ
selama 6 bulan setelah itu dibawa pulang oleh keluarga dengan catatan wajib
control ke PKM/ RSJ ketika obat habis. Karena keterbatasan biaya keluarga
memutuskan untuk tidak meberikan perawatan medis pada klien. Setelah tidak
minum obat selama 2 bulan muncul tanda – tanda kekambuhan pada Tn. ‘B”. tanpa
sebab yang jelas istri, anak dan tetangga sekitar rumah tiba- tiba dimarahi dan diserang oleh klien. Keluarga
berpendapat penyakit Tn.”B’ tidak dapat disembuhkan.lagi oleh medis. Karena kawatir terhadap kondisi klien yang
demikian tadi dan malu terhadap para tetangga, keluarga mengambil keputusan
untuk memasung Tn.“B” supaya tidak
membayakan orang lain. Perawat melakukan diverifikasi di lapangan dengan
mendatangi rumah keluarga Tn.’B” kemudian Melakukan pemeriksaan TTV dan tanda –
tanda cidera yg berhub dgn proses pengikatan (ROM) dan status mental. Kemudian
juga meLakukan penilaian kebersihan,
status gizi, dan kemungkinan terjadinya dehidrasi.
1.
Setelah anda membaca kasus diatas sebagai perawat yang kopeten dan
professional dibidang kesehatan jiwa. Menurut analisa anda apa alasan keluarga
memasung Tn. ‘B’.
1.
Mengganggu orang lain atau tetangga
dan Membahayakan dirinya sendiri
2.
Tidak ada biaya
3.
Ketidakpahaman keluarga dan masyarakat tentang gangguan jiwa.
4.
Jauhnya akses pelayanan kesehatan
2.
Apakah Kasus diatas menurut anda menunjukkan kurangngya dukungan
serta peran keluarga dalam perawatan klien dengan gangguan jiwa. Peran keluarga
yang harus dilakukan adalah.
1.
Mengajarkan klien untuk
bersosialisasi dan mengenal dengan dunia luar
2.
Mengajarkan klien untuk
bisa aktif melakukan ADL
3.
Memperbaiki hubungan
interpersonal klien dengan setiap anggota keluarga
4.
Memberikan perhatian dan
rasa kasih sayang dan penghargaan sosial kepada penderita
3.
Dampak kuranggnya peran keluarga pada perawatan klien dengan gangguan
jiwa yaitu.
1.
Memperlambat Proses Penyembuhan
2.
Menaikkan Angka Kekambuhan
3.
Kurang Tanggap Terhadap gangguan kesehatan jiwa
4.
Memperburuk hubungan intrapersonal klien
4.
Penatalaksanaan yang tepat bagi klien seperti Tn.B adalah
1.
Berbicara dengan baik, tidak membentak, dan tanpa pemaksaan ketika
menyuruh pasien.
2.
Selalu jujur dengan pasien.
3.
Mendampingi pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
4.
Memberikan klien tindakan dan kegiatan yang positif. Misal:
membantu orang tua bekerja
5.
Upaya tepat dalam rangka Pencegahan kasus
pemasungan pada klien dengan gangguan jiwa adalah.
1.
Deteksi dini kasus ODGJ yg beresiko pasung
2.
Peningkatan kemampuan dasar keluarga unt merawat ODGJ
3.
Komunikasi, informasi dan edukasi, ttg ganguan jiwa kpd msy
4.
Pemantauan tehadap ODGJ dan keluarga
G.
Tugas Mandiri
Jelaskan apa yang harus dilakukan perawat
homecare untuk perawatan pasien gangguan jiwa di rumah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar